Usiaku 20 tahun ketika berkenalan dengan Angga, dia adalah teman satu
kampus denganku. Walaupun beda fakultas, kami sering bertemu saat makan
di kantin atau saat menghadiri acara kampus. Singkat cerita, kami saling
jatuh cinta dan mulai berpacaran.
Angga adalah pemuda yang baik dan sopan, dia juga bukan tipe pria yang
suka mempermainkan wanita, karena itulah aku jatuh cinta padanya. Tetapi
di balik sifat baiknya, ada satu hal yang bisa menjadi penghalang
hubungan kami, yaitu agama yang berbeda.
Sejak awal, kami menekankan bahwa tidak boleh ada pacaran diam-diam,
kami serius dengan hubungan kami, sehingga orang tua kami harus tahu.
Pada awalnya, kedua orang tua kami menerima hubunganku dan Angga, mereka
tidak mempermasalahkan perbedaan kami yang sangat prinsip. Aku dan
Angga juga tidak pernah saling memaksa, kami tetap beribadah sesuai
agama kami. Aku menghargai Angga dan agamanya, demikian juga dia. Itulah
yang aku suka darinya, pemikiran yang dewasa dan tidak pernah memaksa.
Tanpa terasa, hubungan kami berjalan empat tahun. Aku dan Angga beberapa
kali membicarakan pernikahan. Mulai dari menabung agar bisa menikah
legal di negara lain (kami ingin tetap memegang agama masing-masing saat
menikah), hingga bagaimana saat kami punya anak nanti. Semua sudah kami
bicarakan dan baik-baik saja.
Hingga.. orang tua kami sedikit demi sedikit menentang hubungan kami. Di
kedua belah pihak, mereka ingin agar hubungan kami berakhir. Bagi orang
tuaku dan orang tua Angga, hal yang paling prinsip tidak akan bisa
disatukan dengan cinta. Bisa saja kami menerima di awal, tetapi akan
banyak cemooh dari orang-orang.
Semakin hari, kedua orang tua kami semakin keras menentang hubungan
kami. Sekuat apapun aku dan Angga menjelaskan, mereka tidak mau terima.
Kedua orang tuaku ingin agar Angga masuk agamaku, sedangkan orang tua
Angga ingin agar aku masuk agama mereka.
Bukannya tidak ingin mengalah atau egois, aku dan Angga pada akhirnya
sama-sama mengalah. Kami tidak ingin hubungan keluarga hancur jika kami
memaksa. Akhirnya aku dan Angga memutuskan hubungan kami, memutuskan
ikatan cinta kami.
Jangan tanya bagaimana perih dan sakitnya hatiku, aku juga merasakan hal
yang sama pada Angga. Kami sama-sama terluka, kami saling mencintai
tetapi harus berpisah dengan perbedaan ini.
Mungkin Angga memang bukan jodohku, dan mungkin aku memang bukan jodoh untuk Angga.
Aku masih belajar untuk menerima kenyataan ini, sulit memang, tetapi aku tidak bisa memilih antara cinta, agama dan orang tuaku.
Mengalah tak selamanya kalah, aku juga masih menghormati orang tuaku.
Semoga kelak, aku bisa mendapatkan pria yang baik..
Selama bertahun-tahun, kehidupan pernikahan kami berjalan sebagaimana
mestinya. Dia selalu memenuhi kebutuhan keluarga sebagaimana mestinya.
Kami juga tidak pernah bertengkar hebat karena hal-hal tertentu. Saat
pertengkaran kecil melanda, dia cenderung diam selama beberapa saat.
Setelah emosinya mereda, dia pun kembali bersikap seperti biasa.
Suamiku biasa menciumku dua kali sehari yaitu sebelum dia berangkat
bekerja dan sepulang dia bekerja. Kebiasaan ini sudah menjadi patokanku
bahwa dia mencintaiku dengan segenap hati dan perasaannya karena sewaktu
pacaran pun dia tidak pernah romantis. Kami jarang mengobrol sampai
malam, jarang pergi nonton berdua, bahkan makan berdua di luar pun
hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makan berdua, kami asyik
sendiri dengan sendok garpu kami. Alih-alih obrolan hangat, yang
terdengar hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu. Kalau
hari libur, dia lebih sering tiduran di kamar atau bermain dengan
anak-anak. Dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam,
aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.
Aku mengira rumah tangga kami baik-baik saja selama 8 tahun pernikahan
kami. Sampai suatu ketika, di suatu hari yang terik, suamiku tergolek
sakit di rumah sakit. Karena jarang makan dan sering jajan di kantornya
dibandingkan makan di rumah, dia kena typhoid dan harus dirawat di rumah
sakit. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang
menjenguknya. Dia bernama Rika, teman Dhika di masa kuliah. Rika tidak
secantik aku. Dia begitu sederhana. Tapi aku tidak pernah melihat mata
yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah penuh
kehangatan dan penuh cinta. Ketika dia berbicara, seakan-akan waktu
berhenti berputar dan terpana dengan kalimatnya yang ringan dan penuh
pesona. Setiap orang akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.
Rika tidak pernah kenal dekat dengan Dhika selama mereka kuliah dulu.
Rika bercerita Dhika sangat pendiam sehingga jarang punya teman yang
akrab. 5 bulan lalu mereka bertemu karena ada pekerjaan kantor yang
mempertemukan mereka. Rika yang bekerja di advertising akhirnya bertemu
dengan Dhika yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya
bekerja.
Aku mulai mengingat-ingat. Lima bulan lalu ada perubahan yang cukup
drastis pada Dhika. Setiap akan berangkat bekerja, dia tersenyum manis
padaku. Dalam sehari, dia bisa menciumku lebih dari tiga kali. Dia juga
membelikan aku parfum baru dan mulai sering tertawa lepas. Tapi di saat
lain, dia sering termenung di depan komputernya. Ketika aku bertanya,
dia hanya berkata bahwa ada pekerjaan yang membingungkan.
Suatu saat Rika pernah datang pada saat Dhika sakit dan masih dirawat di
rumah sakit. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan
wajah kesal karena Dhika tidak mau aku suapi. Rika masuk ke kamar dan
menyapa dengan suara riangnya, “hai Rima, apa yang terjadi dengan anak
sulungmu ini? Tidak mau makan juga? Uhh… dasar anak nakal, sini
piringnya," lalu dia terus mengajak Dhika bercerita sambil menyuapi
Dhika. Tiba-tiba saja sepiring nasi itu sudah habis di tangannya. Dan...
aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata
suamiku seperti siang itu. Aku tidak pernah bertanya apakah suamiku
mencintai perempuan berhati bidadari itu karena tanpa bertanya pun aku
sudah tahu apa yang bergejolak di hatinya.
Suatu sore, mendung begitu menyelimuti jakarta. Aku tidak pernah
menyangka hatiku pun akan mendung dan bahkan gerimis. Anak sulungku,
seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, berhasil membuka password
email papanya dan memanggilku, “Mama, mau lihat surat papa buat Tante
Rika?” Aku tertegun memandangnya, dan membaca isi surat elektronik itu:
Dear Rika,
Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh
relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini,
bahkan pada Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan
aku mencintainya, karena dia ibu dari anak2ku. Ketika aku menikahinya,
aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh-sungguh mencintainya. Tidak ada
perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu. Tidak ada perasaan
rindu ketika aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti
perasaannya. Ketika konflik terjadi seperti saat kami pacaran dulu, aku
sebenarnya kecewa. Tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia
bukanlah perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku
tetap terasa hampa meskipun aku menikahinya.
Aku tidak tahu bagaimana cara menumbuhkan cinta untuknya seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami. Itu yang aku rasakan.
Aku tidak akan pernah bisa memilikimu karena kau sudah menjadi milik
orang lain. Dan aku adalah laki-laki yang sangat memegang komitmen
pernikahan kami. Rima bisa mendapatkan segala yang dia inginkan selama
aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh hartaku dan tubuhku, tapi tidak
dengan jiwaku dan cintaku yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada
tembok yang menghalangi kita, aku berharap engkau mengerti bahwa you are
the only one in my heart.
yours,
Dhika
Mataku terasa panas. Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah
bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain. Aku mengumpulkan
kekuatanku. Sejak itu, mobil yang dia berikan untukku kukembalikan
padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa uang
belanja dan aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak-anakku.
Dhika merasa heran karena aku tidak pernah lagi bermanja. Aku terpuruk
dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena malu terlalu
lama pacaran di saat teman-temanku sudah menikah semua. Ternyata dia
memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya.
Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu bahwa aku juga seorang
perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya? Mengapa
dia tidak mengatakan saja bahwa dia tidak mencintaiku dan tidak
menginginkanku? Itu jauh lebih kuhargai daripada hanya diam dan
melamarku serta menikahiku.
**********
Setahun kemudian..
Rika membuka amplop surat itu dengan air mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan dipenuhi bunga.
Dhika, suamiku..
“...Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah. Engkau tidak lagi
sedingin es. Namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari
matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu
berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Rika...”
Di surat yang kesekian,
“…Aku bersumpah akan membuatmu jatuh cinta padaku. Aku telah berubah,
Dhika. Aku tidak lagi marah-marah padamu, tidak lagi suka membanting
barang dan berteriak jika emosi. Aku belajar memasak dan tidak lagi
boros. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku merawatmu jika
engkau sakit dan aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi. Aku
menungguimu sampai tertidur di samping tempat tidurmu di rumah sakit
saat engkau dirawat. Meskipun sinar cinta itu belum terbit dari matamu,
aku akan tetap berusaha dan menantinya...”
Rika menghapus airmata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya. Dipeluknya Fika yang tersedu-sedu disampingnya.
Di surat terakhir, pagi ini…
“...Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun
lalu engkau tidak pulang ke rumah. Tapi tahun ini aku akan memaksamu
pulang karena hari ini aku memasak makanan yang paling enak sedunia.
Kemarin aku belajar membuatnya di rumah Bude Tuti sampai kehujanan dan
basah kuyup karena waktu pulang hujannya deras sekali dan aku hanya
mengendarai motor.
Saat aku tiba di rumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran di
matamu. Engkau memelukku dan menyuruhku segera ganti baju supaya tidak
sakit. Tahukah engkau suamiku... Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6
tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku
melihat sinar kekhawatiran itu dari matamu, inikah tanda cinta mulai
bersemi di hatimu?”
Fika menatap Rika, dan bercerita,
“Siang itu Mama menjemputku dengan motornya. Dari jauh aku melihat
keceriaan di wajah mama. Dia terus melambai-lambaikan tangannya
kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama
seperti siang itu. Dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah-marah
kepadaku, aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya di seberang
jalan dan ketika mama menyeberang jalan, tiba-tiba mobil itu lewat dari
tikungan dengan kecepatan tinggi. Aku tidak sanggup melihatnya
terlontar, Tante. Aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak
lagi bergerak."
Fika memeluk Rika dan terisak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil
untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat dewasa. Rika
mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Dhika mengirimkan
email lagi kemarin malam, dan tadinya aku ingin Rima membacanya.
Dear Rika,
Selama setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda. Dia tidak lagi
marah-marah dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia
pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan. Aku sangat khawatir
dan memeluknya. Tiba-tiba aku baru menyadari betapa beruntungnya aku
memiliki dia. Hatiku mulai bergetar. Inikah tanda aku mulai
mencintainya? Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau
sarankan, Rika. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya. Aku
akan membelikan mobil mungil untuknya supaya dia tidak lagi naik motor
kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak-anakku, tapi karena dia
belahan jiwaku.
Rika menatap Dhika yang tampak semakin ringkih dan terduduk di samping
nisan Rima. Di wajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah terjadi,
Dhika. Kadang kita baru menyadari bahwa kita mencintai seseorang ketika
seseorang itu telah pergi meninggalkan kita.
Komentar
Posting Komentar