Aku Cinta Kamu Dan Dia
Tak pernah terbayang sebelumnya di benakku, bisa mencintai dua orang
sekaligus. Aku tahu ini salah, tetapi yang aku tak tahu adalah bagaimana
bisa memilih dia tanpa menyakiti hatimu.
"Bang, besok kita jadi ke pantai?" tanyaku sambil tetap asyik dengan
ponsel di genggamanku. "Nggak jadi ah kamu sibuk sendiri gitu!" candanya
sambil mengacak-acak rambutku. Dipa adalah sosok pria yang belum lama
ini dekat denganku. Sebenarnya kami sudah saling kenal cukup lama,
tetapi tak ada yang menyadari mulai kapan perasaan kagum dan sayang itu
muncul. Aku sendiri memanggilnya abang karena ia memang sangat perhatian
padaku. Usia kami berbeda 5 tahun, dan ia tahu benar bagaimana cara
memanjakan aku.
Namaku Amel, aku punya kekasih. Ya! Aku punya kekasih yang aku sayangi.
Tetapi aku tak dapat menolak kedekatanku dengan Dipa ini. Diam-diam tiga
bulan ini kami jalan, ke sana kemari berdua. Saling menghujani satu
sama lain dengan perhatian. Menjaga dan bercanda, kami seperti sepasang
kekasih yang saling mengagumi satu sama lain. Tak pernah kehabisan bahan
cerita dan seperti bisa saling menutupi kekurangan masing-masing.
Kekasihku. Hmm... sebenarnya aku mencintainya. Kami toh sudah jalan
lebih dari 3 tahun lamanya. Tetapi entah kenapa kami seperti orang asing
yang tak punya chemistry satu sama lain. Bercanda saja kami jarang.
Tetapi ajaibnya kami bisa bertahan dalam hubungan untuk sekian lama.
"Lalu mengapa harus dipertahankan?" pertanyaan tersebut selalu
menggangguku setiap saat. Sayangnya hingga kini, aku tak juga tahu
jawabannya.
***
"Kamu tahu, setiap ada di dekatmu aku selalu ingin memelukmu. Serasa tak
ingin melepaskanmu..." kata Dipa saat kami menikmati matahari tenggelam
di pantai sore itu. Aku terdiam. Aku tak dapat berkata apa-apa dan
menikmati pelukannya. Namun, ada sedikit rasa tak nyaman juga di dalam
hatiku. Aku teringat pada kekasihku, yang entah hari ini sedang ngapain
hehe. Tetapi setidaknya memang aku merasa bersalah padanya, dan kian
hari rasa bersalah itu semakin besar.
"Bang, sampai kapan memangnya kita harus begini terus?" tanyaku?
"Maksudmu itu apa? Ya sampai selamanyalah..." kata Dipa.
"Bukan begitu. Tapi... aku butuh kepastian, bang. Kita nggak bisa
seperti ini terus. Kita butuh kejelasan hubungan," kataku lagi
melepaskan pelukannya dan kemudian menatap dalam-dalam matanya.
"Hmm... aku tahu maksudmu. Tetapi, aku sendiri tak tahu harus bagaimana
saat ini. Lebih baik kita jalani saja dulu ya..." Dipa meraih tanganku,
memainkan rambutku dengan lembut. Aku tetap membisu. Tak tahu harus
berkata apa padanya.
***
"Nak Amel, tante itu senang lho Ricky bisa jalan dengan nak Amel sekian
lama. Maksud hati sih kalian lekas meresmikan hubungan saja," kata tante
Lia saat mengajakku ngopi sore itu. Aku nyaris tersedak. Tak pernah
terpikir sebelumnya di benakku tante Lia akan ngobrol tentang hal itu.
Oya, tante Lia adalah ibu Ricky, kekasihku. Sebenarnya ia juga adalah
teman ibuku, jadi ceritanya dulu memang kami sengaja dikenalkan.
Ricky sendiri hanya senyum-senyum duduk di sampingku, tak berkomentar
apa-apa. Dan aku tak bisa menebak apa yang ada di dalam pikirannya.
"Iya, beneran nih. Tante sudah bicara sama mama dan papamu. Mereka
setuju kok kalau kalian segera menikah tahun ini. Kami sudah tak sabar
ingin menimang cucu..." ungkap tante Lia sambil tertawa senang hatinya.
Aku menanggapinya dengan senyum yang aku tak tahu itu apa. Aku hanya tak
tahu harus berkata apa.
***
"Bang, aku mau dinikahin nih," kataku pada Dipa. Ia terdiam. "Maksudmu
dengan dinikahin itu apa?" ia bertanya balik. "Ya orangtuaku dan tante
Lia setuju kalau aku dan Ricky segera menikah. Mereka malah sudah
merencanakan hal itu. tahun ini."
"Lalu, kamu bilang apa?" wajah Dipa mulai serius. Ia meninggalkan
kesibukannya dan tampak mulai khawatir. "Ya aku nggak bilang apa-apa
sih. Tapi..."
"Tapi apa? Kamu bilang nggak mau kan?" ia semakin gusar.
"Aku rasa aku nggak bisa menolaknya, bang." aku memalingkan wajah darinya. Aku takut melihat kekecewaan di wajahnya.
"Aku... aku balik dulu Mel. Aku ada perlu." Aku sudah menyangka ini akan
terjadi. Dipa kecewa dan terluka. Aku harus bagaimana? Berpikir selama
beberapa detik, kemudian aku mengejarnya.
"Bang... tunggu!" kataku. "Gimana kalau kita kawin lari?" aku tak pernah
menyangka bahwa kalimat ini akan keluar dari mulutku. Namun nyatanya
keluar juga. Dipa terdiam dan tak berpaling padaku. Kuhentikan langkahku
dan menunggu ia berbalik dan memelukku. Ia tak pernah berbalik. Ia
meneruskan langkahnya dan memacu motornya dengan kecepatan tinggi.
***
"Kamu cantik lho Nak Amel dengan busana pengantin ini," kata tante Lia
padaku. Mama mengangguk setuju. Akupun tersipu di depan mereka.
Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Ricky. Hari yang
diharap-harapkan oleh banyak orang untuk melihatku bahagia. Kalau
dipikir-pikir, aku sebenarnya beruntung. Bisa menikah dengan orang yang
aku cinta, direstui dan didukung oleh keluarga. Tetapi seperti ada yang
hilang di dalam hatiku.
Dipa. Entah ke mana ia pergi setelah hari itu. Aku tak pernah melihat
dan mendengar kabarnya lagi. Ia seperti lenyap ditelan bumi. Aku sendiri
tak berniat mencarinya, karena kupikir ia akan berbalik dan memelukku.
Aku juga tak pernah terbayang bagaimana bila ternyata hari itu ia
mengiyakan ajakanku. Mungkin saat ini aku tak melihat tante Lia, tak
melihat senyum di wajah mama dan papa.
Haha. Bodohnya aku. Mengapa sampai terucap kalimat itu. Bukannya aku
seharusnya tahu bahwa hubungan kami itu nggak mungkin terwujud.
"Amel, semua sudah menunggu di bawah," kata mama memintaku untuk segera
turun dan bersiap untuk ijab kabul. "Iya, ma... sebentar lagi," kataku.
Kupandang lagi cermin di kamarku, kemudian beralih mencari udara segar
di jendela kamar. "Baiklah, ini mungkin sudah menjadi jalanku. Aku tak
bisa mundur lagi. Maafkan aku, Bang Dipa. Aku tak bisa menunggu sesuatu
yang tak pasti darimu. Aku mencintaimu, namun aku juga mencintai dia,"
kataku dalam hati kemudian beranjak dari kamarku.
Komentar
Posting Komentar